MAKALAH
EUTHANASIA
DALAM PANDANGAN
SYARI’AT ISLAM
OLEh :
KELOMPOK 6
Atma
Trianingsih 201010420311003
Nur Dewi
Masyithoh 201010420311009
Kamariah 201010420311012
Citra
Sintia Devi 201010420311017
Siti
Alfiah 2010104203110
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
praktik kedokteran, dikenal istilah suntik mati atau euthanasia. Yakni tindakan
agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal
diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Dikenal ada dua jenis euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia
pasif.
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara mana pun.
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang diatas
didapatkan rumusan masalah yaitu:
- Apakah euthanasia itu?
- Apa saja jenis-jenis dari euthanasia?
- Bagaimana pandangan Islam terhadap euthanasia?
1.3
Tujuan
Tujuan Umum: Untuk mengetahui hukum melakukan euthanasia menurut pandangan Islam.
Tujuan Khusus:
- Untuk mengetahui apa itu euthanasia.
- Untuk mengetahui jenis-jenis dari euthanasia.
- Untuk mengetahui pandangan Islam mengenai euthanasia.
1.4
Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah pembaca
bisa membedakan eutanasia yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
oleh para anggota medis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya
(Hasan, 1995:145).
2.2 Macam-Macam Euthanasia
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin
lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo,
2003:176).
Contoh euthanasia
aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang
terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan
fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang
sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo,
2003:177).
2.3 Pendapat
Mengenai Euthanasia
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan.
Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman
Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang
mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisaa` : 29).
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar.
Dokter yang
melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika
keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan),
qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : “Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).”
(QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk
pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam
keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990:
111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak),
maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25
gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =
2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat
diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat
penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini
hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek
lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat
kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat
(hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan
dosa.
Rasulullah
SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum
euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban
untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah
dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo,
2003:180).
Menurut
Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan
itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas
(sunnah).
Di antara
hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa
Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari
Anas RA)
Hadits di
atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul
Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul
:
Al-Ashlu fi al-amri li
ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya
adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits
riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak
terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah
yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas
tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya
ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam
pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit
ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada
Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan
akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia
berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di
atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini
menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan
wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan
demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis
keadaannya?
Abdul Qadim
Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si
pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab
pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas
pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti
secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun
sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat
mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera
tidak berfungsi.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh
(jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut
dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat
dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili,
1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk
bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan
izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu
a’lam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Euthanasia adalah tindakan yang dilakukan agar
kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal
diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang
yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif.
Euthanasia
aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan
suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Adapun
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan.
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja. Sedangkan
euthanasia pasif bergantung kepada pengetahuan
kita tentang hukum berobat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds:
Mansyurat
Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut:
Muassasah Ar-
Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (AlMustad-
rak). Damaskus : Darul
Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada
Masalah-Masalah Kon-
temporer Hukum
Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontempo-
rer. Jakarta: Gema
Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql
A’dha`, Al-
Ijhadh, Athfaal
Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-
Maut. Beirut: Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan
Islam: Kloning,
Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Peng-
gunaan Organ Tubuh
Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al
Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta :
CV. Haji Masagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar